Renungan Minggu, 18 Mei 2014 – Paskah V
Indonesia adalah negara yang menempatkan agama sebagai salah satu dasar kehidupan bermasyarakat (dinyatakan dalam sila pertama Pancasila). Dalam hidup beragama, percaya pada Tuhan menjadi sebuah keniscayaan. Hal ini ditunjukkan melalui pengakuan iman/syahadat dari setiap agama. Pengakuan iman ini mengandung paradoks, yang pada gilirannya menempatkan para penganutnya pada posisi yang tidak mudah. Pada satu sisi, pengakuan iman menjadi identitas dari setiap penganut agama tersebut. Pada sisi yang lain, pengkauan iman menjadi pembela antara penganut agama yang satu dengan yang lain.
Bila perbedaan itu diterima sebagai kekayaan, dan karena itu dirayakan dalam hidup bersama, maka tidak ada persoalan yang harus dikuatirkan. Persoalannya adalah alih-alih merayakan perbedaan, yang terjadi justru penegasan perbedaan. Perbedaan dipakai bukan saja untuk memilah dan memisahkan antara aku dan kamu, namun tak jarang juga dipakai untuk menghilangkan mereka yang berbeda dengan aku. Tak ada kamu, hanya ada aku.
Situasi dan kondisi yang diwarnai sikap serta semangat intoleransi, intimidasi, bahkan kriminalisasi membuat kehidupan bersama tak lagi nyaman. Berhadapan dengan semua itu, kepercayaan pada Tuhan sering dipertaruhkan. Mulai dari tingkat yang paling rendah dan sederhana yang terbatas pada ucapan, sampai yang paling tinggi dan rumit, yaitu pada saat orang kehilangan nyawa karena kepercayaannya.
Pada saat seperti itu, keteguhan atas apa yang kita percaya diuji. Mereka yang lulus dari ujian, apa pun yang terjadi dan dihadapi, adalah mereka yang selama ini hidupnya tekun memelihara dan merawat kepercayaan itu. Mereka yang lulus pada gilirannya akan disebut sebagai martir, saksi atas kepercayaan mereka, sekali pun untuk itu mereka harus mati. (Dian Penuntun edisi 17, halaman 359 – 360).
Tinggalkan Balasan