Renungan Minggu, 25 Februari 2018 – Pra Paskah II
“Agama adalah candu masyarakat”, demikian pernyataan Karl Marx yang dikutip banyak orang. Agama bisa meninabobokkan masyarakat dari penderitaan yang mereka alami. Sebab dengan percaya bahwa itu adalah kehendak Allah, mereka menerima begitu saja rupa-rupa ketidakadilan, penindasan, dominasi atas mereka yang lemah, dan sebagainya.
Di sisi lain, agama membuat orang enggan beranjak dari situasi mapan, sebab menghayati bahwa Tuhanlah yang menetapkan keadaan sekarang untuk dijalani. Manusia hanya bisa menerima secara fatalistik. Maka ketika bicara tentang iman, orang kemudian melihat dengan sinis dan menganggap bahwa iman sesungguhnya hanyalah komoditas “para pemain kekuasaan” dan menjadi “semacam tempat pelarian” dari kehidupan nyata bagi orang-orang lemah.
Dalam konteks tertentu ungkapan tersebut ada benarnya, sebagaimana akhir-akhir ini kita melihat agama menjadi kuda tunggangan orang-orang yang berhasrat mempolitisasinya demi kekuasaan dan kejayaan. Dengan berjubah dogma tertentu, diskriminasi menjadi legal. Dengan meminjam otoritas agama, segala yang batil menjadi lancar, sebab tidak banyak orang yang berani menggugat “klaim ini kehendak Tuhan”.
Namun di sisi lain, ungkapan bahwa “agama adalah candu bagi masyarakat” tak sepenuhnya benar. Sebab sesungguhnya, di dalam iman Kristen, kita juga melihat gagasan tentang pembebasan, pengorbanan, dan keberanian.
Di Minggu Pra Paskah II ini, kita akan bercermin dari pernyataan teologis Markus yang menekankan bahwa untuk beriman kepada Tuhan Yesus, kita butuh keberanian. Hal yang sama juga dapat dipetik melalui Abraham yang disebut sebagai bapak orang beriman yang menjawab “tantangan perjanjian Tuhan” dengannya dengan menenggelamkan diri dalam lika-liku perjalanan hidup baru bersama dengan Allah Sang Insiator Perjanjian. (Dian Penuntun Edisi 25).
Bacaan Alkitab:
Nyanyian Jemaat:
- NKB 42:1-3
- PKJ 128:1-3
- PPK 107:1,3
- KJ 178:1,2
- PKJ 271
- PKJ 282:1,4,6
Tinggalkan Balasan