Renungan Minggu, 7 Juni 2015
Adagium “man is vulnerable” -mungkin lebih tepat: “human is vulnerable- digunakan untuk menyatakan bahwa manusia itu lemah, gampang terluka, mudah menjadi korban. Kemungkinan besar, termasuk kita. Kebenaran adagium ini tidak dapat kita sangkal. Dan, tidak perlu. Seringkali kita memang mudah merasa lelah, payah, atau “kalah”, ketika kesulitan menghadang; Ketika beban kehidupan bertambah berat, dan persoalan tampak tak kunjung terselesaikan, kita cenderung berputus asa. Memang, ada orang yang lebih kuat, dan ada yang lebih lemah. Namun, bagaimana pun kuatnya seseorang, dia pasti pernah (merasa) lelah, kecewa, “kalah”, lalu menjadi tawar hati. Dan, yang paling akhir, siapa pun juga, betapa pun tinggi kedudukannya, betapa pun besar kekuasaan yang dipegangnya, suatu saat dia akan kalah oleh kematian; jangankan melawan, menolak kedatangan sang malaikat maut pun dia takkan mampu.
Penyebab seseorang menjadi tawar hati bisa bermacam-macam. Akan tetapi, secara sederhana sebab-sebab itu dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu karena situasi yang dialami, atau karena perlakuan orang lain terhadap dirinya.
Keadaan yang tak sesuai dengan harapan memang menyesakkan. Apalagi ketika situasi itu menekan, dan persoalan yang dihadapi sulit terselesaikan. Lama menganggur, misalnya, pasti tidak mengenakkan. Apalagi ketika orang sudah dituntut mandiri, dan tidak diharapkan lagi menjadi beban bagi orangtua, atau orang lain. Lamaran kerja yang berkali-kali ditolak, serta usaha yang berulang-ulang gagal dan menghabiskan modal, tak jarang membuat orang putus asa. Sakit yang berkepanjangan dan menghabiskan banyak uang, bisa juga menyebabkan seseorang kehilangan harapan; penderitaan membuat hati tawar, sehingga kehidupan tidak lagi dirasa menggairahkan, sebelum akhirnya orang menyerah terhadap kematian.
Seperti situasi di atas, perlakuan orang (lain) juga dapat membuat tawar hati seseorang. Sesabar-sabarnya orang, apabila selalu dikritik dan dipersalahkan, suatu saat pasti tidak akan tahan. Akibatnya, dia bisa marah. Atau, kalau tidak begitu, dia bisa kecewa, dan “mutung”, atau tawar hati. Walaupun gagasan dan tindakan seseorang itu baik, belum tentu orang banyak, atau masyarakat, dapat memahami dan menerimanya. Hal seperti ini bisa juga terjadi dalam lingkup gerejawi. Orang yang terpanggil dan giat melayani, dapat menjadi tawar hati ketika tidak diapresiasi. Meskipun motivasi melayani harus tulus dan tanpa pamrih, penghargaan dan penerimaan anggota jemaat akan lebih menguatkan, ketimbang kritikan.
Agar kuat menghadapi situasi-situasi dan beban kehidupan yang berat, bagi anggota jemaat tersedia semacam “obat”. “Obat” itu adalah iman kepada Tuhan. Iman dan pengharapan, akan menjadi sumber kekuatan untuk “keep moving” menjalani kehidupan dan menunaikan tugas pelayanan dari Tuhan. Iman itu obat tawar hati. Oleh karena meyakini panggilan Tuhan untuk melayani, Rasul Paulus tidak tawar hati, meskipun ternyata tugas pelayanan itu benar-benar berat untuk dilaksanakan (2 Korintus 4:1, dst.), (Dian Penuntun edisi 20).
Tinggalkan Balasan