Renungan Minggu, 1 Maret 2020 – Minggu Pra-Paskah 1
Menjelang akhir Agustus 2018 yang lalu masyarakat Indonesia sempat dihebohkan dengan pemberitaan tentang kasus Meiliana, seorang WNI keturunan Tionghoa yang didakwa dengan kasus penistaan agama. Rumah Meiliana yang berlokasi di Tanjung Balai, Sumatera Utara ini, terletak persis di depan sebuah masjid.
Ketika Meiliana berbelanja sayur di lapak seorang pedagang sayur keliling, ia berkata, “ Kak, suara adzannya kok lebih keras daripada biasanya ya?” Singkat cerita, berita ini dipelintir oleh si pedangang sayur dan diceritakan kepada bapaknya, saudara-saudaranya, lalu ke banyak orang. Hal yang terjadi kemudian adalah kelompok radikal merusak rumah Meiliana dan membakar 14 vihara.
Hal yang menarik adalah mereka yang melakukan perusakan ditangkap dan dipidana 1,5 hingga 3 bulan penjara. Sedangkan Meiliana sendiri didakwa 1,5 tahun penjara menurut tuntutan jaksa. Menarik bagi kita untuk merefleksikan pengalaman sang hakim yang menangani kasus Meiliana ini. Seorang hakim semestinya mempunyai nalar hukum dan hati nurani. Ia semestinya tahu bahwa kasus Meiliana ini tidak layak dituduhkan dengan pasal penistaan agama.
Kita memang tidak mengetahui secara persis hal apa saja yang menjadi pertimbangan dari sang hakim di balik putusannya. Tapi bolehlah kita mencoba untuk menafsirkannya. Bisa jadi sang hakim terpaksa mengorbankan hati nurani dan nalar hukumnya karena tekanan massa yang begitu besar. Bukan hanya massa, melainkan juga kekuatan terselubung dari para oligarch yang menggerakkan massa itu.
Jika sang hakim memutuskan untuk berlaku benar, bisa jadi ia berkata dalam hatinya, “Bagaimana dengan karier saya? Keselamatan keluarga saya? Jejaring saya? Ya sudahlah saya jatuhi hukuman 1,5 tahun saja sesuai tuntunan jaksa. Biar Meiliana naik banding, lalu biarlah kasusnya diurus oleh hakim yang lain.”
Jika benar hal itu yang terjadi maka pengalaman hakim inilah yang disebut dengan inner struggle” (pergumulan batin) di mana ada perang antara logika dan hati nurani yang bersih dengan kepentingan-kepentingan pribadi. Memasuki Minggu Prapaskah I ini, umat diajak untuk belajar dari narasi pencobaan Yesus di padang gurun menurut Injil Matius dan mendialogkannya secara positif dengan pengalaman “inner struggle” yang dialami umat dalam kehidupan sehari-hari. (Dian Penuntun Edisi 29).
Tinggalkan Balasan