Renungan Minggu, 4 November 2018
Hukum kerap kali dipahami sebagai seperangkat aturan untuk mengatur atau membatasi perilaku dan kebebasan kita. Akibatnya, hukum dianggap sebagai sesuatu yang membebani atau menindas diri kita. Hukum yang seperti ini tidak akan pernah dilakukan dan dipatuhi dengan sukacita dan sukarela. Justru hukum tersebut selalu dicari celah atau “kelemahannya”, dengan alasan “yang dicari-cari pembenarannya”, untuk tidak dilakukan atau dipatuhi.
Agaknya, pemahaman dan tindakan yang sama terjadi dalam kehidupan umat beriman, baik umat Israel dalam Perjanjian Lama maupun pengikut Kristus dalam Perjanjian Baru. Hukum-hukum yang diberikan oleh Tuhan bertujuan untuk mengatur dan membatasi perilaku dan kebebasan mereka, padahal hukum-hukum itu diberikan supaya mereka dapat menikmati kehidupan dan mempunyai relasi yang harmonis dengan Tuhan, Sang Sumber kehidupan, dan sesamanya.
Hukum-hukum ini juga diberikan setelah mereka merasakan pembebasan atau pelepasan dari perbudakan yang mengikat dan menindih hidup mereka di Mesir (ingat preambul Dasa Titah). Karena itu, mereka mestinya melakukan hukum-hukum tersebut sebagai bentuk ungkapan syukur, serta dengan penuh sukacita dan sukarela.
Begitu juga dengan makna hukum kasih bagi para pengikut Kristus. Hukum ini pun mempunyai latar belakang dan dasar pemikiran yang sama. Bukan hanya hukum ini diberikan karena kita telah diselamatkan atau dibebasankan dari belenggu dosa, dan diharapkan kita tidak jatuh lagi dalam belenggu yang sama, tetapi hukum kasih ini juga diberikan agar kita tidak terikat lagi pada belenggu hukum yang mati (harafiah semata), seperti hukum Taurat, melainkan pada hukum yang membebaskan dan bersikap aktif-positif bagi orang lain.
Dengan demikian, hukum kasih menjadi hukum yang memberikan kebebasan kepada kita untuk mewujudkan manifestasi dan cara pelaksanaan kasih tersebut, sekaligus juga menjadi hukum yang menyelamatkan, karena kasih itu adalah hakikat dari Allah (bandingkan 1 Yohanes 4:7-21). (Dian Penuntun Edisi 26).
Tinggalkan Balasan