Renungan Minggu, 16 Agustus 2015
Kita berada di dunia yang bergerak kian cepat. Ritme kehidupan manusia pun makin laju dan tidak terbatas. Segala sesuatu datang dan pergi, bahkan cenderung mudah datang dan mudah pergi. Tanpa kesediaan menjalani hidup secara arif, hidup akan berjalan kian mekanis. Manusia makin hari akan makin sulit menghargai sesama manusia, dan lebih bisa menghargai barang kesayangannya (seperti gadget, dan sebagainya). Kehidupan akan berjalan makin hedonistic, namun juga sekaligus dibayangi oleh sindrom kebosanan. Pendeknya hidup tanpa hikmat adalah hidup sebagai “zombie” – hidup yang sejatinya mati.
Melalui hikmat, orang percaya akan melihat realitas dengan “kacamata lalat”, yang mata fasetnya bisa melihat ke segala arah dengan perspektif luas, dan bahkan mengolah setiap gerakan sekitarnya menjadi sebuah gerak lambat (slow motion), sehingga bisa selamat dari serangan secepat apapun. Hidup arif dan bijaksana akan menjadikan anugerah kehidupan kian bermakna. Kesediaan menjalani hidup dengan seksama, jauh dari kesembronoan dan kebebalan – tak seperti orang mabuk- namun justru hidup dalam ungkapan syukur dan kerendahan hati akan meneguhkan eksistensi sebagai pengikut Kristus sejati. Kearifan adalah sebuah pembuktian kematangan iman orang percaya, namun juga sekaligus sarana untuk menjadikan kehidupan kita dan sesama dilingkupi damai sejahtera. (Dian Penuntun Edisi 20).
Tinggalkan Balasan