Renungan Minggu, 19 Agustus 2018
Hidup adalah anugerah Allah kepada manusia, bahkan kepada setiap makhluk yang ada di alam semesta ini. Tetapi hidup untuk apa?
Sekalipun setiap orang memiliki keinginan untuk hidup bermakna, tetapi tidak semua orang dapat menjadikan hidupnya bermakna. Sekalipun setiap orang sudah diberi dan menerima hidup dari Allah, tetapi tidak semua orang mau dan dapat memberi hidupnya untuk menghidupi apa yang ada disekitarnya
Ada orang-orang yang berusaha dan berjuang memenuhi dan memuaskan ambisi hidup yang berpusat pada dan untuk dirinya sendiri. Ada orang-orang yang berorientasi pada ketiadaan dan bukan pada apa yang ada sehingga hidup di dalam pencarian terus-menerus yang tiada berujung dan tidak pernah bisa bersyukur. Ada orang-orang yang hidupnya terpukau dan terikat dengan hal-hal yang duniawi, di dalam kekinian yang fana dan di sini tanpa menghiraukan masa depan yang dihidupi dengan (nilai-nilai) kekekalan.
Itu sebabnya, diperlukan hikmat agar seseorang (memiliki) hidup bermakna kekal yang menghidupi apa yang ada di sekitarnya. Tetapi, di dalam hal ini, gereja harus mempunyai keberanian mengkoreksi dan menuntun umat untuk memahami dan memperoleh hikmat di dalam Kristus yang adalah Roti Hidup, sehingga umat hidup di dalam hikmat Allah untuk menghidupi sekitarnya. (Dian Penuntun Edisi 26).
Tinggalkan Balasan