Renungan Minggu, 23 Februari 2014
Penekanan pada kekudusan Allah dan umat Allah dalam Perjanjian Lama, kerap dianggap “tidak nyambung” dengan Allah yang Mahapengasih dan penyayang yang diperkenalkan dalam Perjanjian Baru. Demi mempertahankan kekudusan-Nya dan umat-Nya, Allah – dalam Perjanjian Lama – tidak jarang melakukan tindakan-tindakan (termasuk mengeluarkan hukum dan aturan) yang terasa kejam. Sebaliknya, demi kasih-Nya pada manusia berdosa, Allah – dalam Perjanjian Allah – memilih untuk merelakan hidup-Nya, dan mati bagi mereka. Karena anggapan bahwa Allah dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru adalah Allah yang berbeda inilah, sejarah kekristenan mencatat nama Marcion (tahun 70-150), dengan alirannya yang disebut Marcionisme, yang menerima hanya Perjanjian Baru, dan menolak Perjanjian Lama. Aliran ini kemudian dianggap sesat oleh gereja.
Namun ternyata, baik Allah yang kita kenal dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru adalah Allah yang satu dan sama. Konsep kekudusan Allah ternyata, pula, tidak bertentangan dengan pemahaman tentang Allah yang Mahapengasih dan penyayang. Justru kedua pemahaman tersebut saling mendukung dan melengkapi. Agar kita mengenal Allah secara benar, kedua bagian perjanjian dalam Alkitab (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) perlu kita simak secara utuh dan penuh. Hal inilah yang ingin dijelaskan melalui teks-teks hari ini. (Dian Penuntun edisi 17, hal. 171-172).
Tinggalkan Balasan