Renungan Minggu, 16 Maret 2014 – Pra Paskah II
“Hanya percaya” sangat mungkin diartikan bertentangan dengan maksud dan tujuan tema kita. Kata ‘hanya’ yang ditempatkan di depan ‘percaya’ bisa diberi makna ‘Cuma sekedar percaya’ hampir sejajar dengan ‘asal percaya saja!’ tidak lebih dari itu maka semua akan beres. Asal percaya saja maka saya masuk surga, itulah pemahaman yang banyak kita jumpai dalam kehidupan umat.
Betapa seringnya kita mendengar dan memakai kata ‘percaya’, namun kalau mau jujur, kita tidak mengerti kata itu dengan tepat. Kadang samar, kita hanya menerima dan meneruskannya begitu saja. Tanpa mengerti dengan baik. Jika itu yang terjadi maka kata percaya tidak memiliki efek apapun, apalagi menjadi kunci keselamatan. Percaya, sebenarnya lebih banyak mengandung porsi di dalam hati kita ketimbang logika. Percaya adalah sikap hati. Ya, sikap hati yang selalu condong kepada yang kita percaya.
Oleh karena percaya adalah sikap hati maka tidaklah cukup hanya dengan kata-kata untuk menggambarkan dan membuktikan bahwa seseorang itu percaya kepada Allah. Percaya merupakan sikap hati yang ‘setuju dengan’ atau ‘menuruti’. Maka sebagai dampak dari percaya itu, seseorang akan mengerjakan segala sesuatu yang dikehendaki oleh yang ia percayai itu. Percaya yang benar akan membuahkan seseorang akan melakukan Firman Allah dengan sungguh dan tanpa paksaan.
Dengan demikian dapatlah dimengerti mengapa setan-setan percaya dan gemetar terhadap Allah namun mereka tidak diselamatkan. Allah tidak diskriminatif! Ya, setan-setan ‘hanya percaya saja’ dan berhenti di situ. Alih-alih melakukan apa yang dikehendaki Allah, justru mereka menentangNya. Seseorang juga akan sama nasibnya dengan setan-setan itu jika berhenti pada sikap ‘hanya percaya saja’ dan tidak melanjutkan melakukan kehendakNya dengan sungguh-sungguh dan tanpa paksaan.
Tinggalkan Balasan