Renungan Minggu, 28 Agustus 2016 – HUT GKI Ke-28
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang heterogen terdiri dari beragam suku, budaya dan agama. Demikian juga halnya dalam tingkat pendidikan dan kesejahteraan, tampak sekali keberagaman yang ada.
Gereja Kristen Indonesia, selaku kenyataan tubuh Kristus di Indonesia bertumbuh dan berkarya di tengah konteks hidup bermasyarakat. Bukan sebuah kebetulan jika nama GKI memperlihatkan unsur “I”, yaitu Indonesia, dengan begitu jelas. Dari Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee, dengan penuh kesadaran kita memilih untuk berganti nama menjadi Gereja Kristen Indonesia. Dengan cara itu GKI ingin menyatakan identitas dirinya sebagai gereja Indonesia, bukan sekedar menjadi salah satu gereja di Indonesia. GKI juga tidak ingin menjadi gereja dari dan bagi suku atau etnis tertentu saja, melainkan gereja bagi beragam suku serta etnis yang ada di Indonesia.
GKI sudah seharusnya peduli terhadap Indonesia dan mencintai Indonesia seperti Allah yang mencintai Indonesia. Apa yang terjadi di Indonesia dalam kehidupan sosial-ekonomi-politik-budaya bangsa harus juga menjadi keprihatinan GKI (bila situasi dan masalah buruk) dan menjadi sukacita GKI (bila kondisi dan situasi berkembang baik). Dengan kata lain, GKI harus menjadi gereja yang meng-Indonesia.
Apa artinya? Kata kerja yang memiliki awalan “meng-“ memiliki banyak arti, di antaranya: menjadi, menyatakan, mengaku. Dengan demikian “meng-Indonesia” bisa dipahami sebagai upaya untuk menjadi Indonesia, menyatakan dan mengaku diri Indonesia. Menjadi gereja yang mengindonesia dengan pengertian ini berarti menjadi gereja yang hidup sesuai dengan dan untuk menjawab pergumulan dalam konteks Indonesia. “Sudahkan GKI menjadi gereja yang meng-Indonesia?” menjadi sebuah pertanyaan reflektif untuk direnungkan dalam merayakan HUT ke-28 GKI. (Dian Penuntun, Edisi 22).
Tinggalkan Balasan