Renungan Minggu, 18 Juli 2021
Di liturgi minggu biasa kali ini kita akan banyak belajar tentang sosok gembala. Profesi gembala Sendiri adalah profesi yang sangat penting pada masa Israel Kuno. Alkitab mencatat ada 3 profesi tertua pada masa Israel kuno yaitu pemusik, pekerja logam, dan gembala. Kejadian 4:21 menuliskan: “Ada itu melahirkan Yabal; dialah yang menjadi bapa orang yang diam dalam kemah dan memelihara ternak.” Jadi dapat dikatakan bahwa profesi gembala ini adalah salah satu profesi yang tertua di Israel kuno.
Dalam perjanjian lama, profesi gembala dikelompokkan sebagai golongan orang kaya, karena merekalah pemilik ternaknya sendiri. Habel anak Adam berprofesi sebagai gembala kambing domba (Kej 4:2). Pekerjaan yang sama dikerjakan oleh Abram sebagai pengusaha ternak yang mempekerjakan banyak gembala, kemudian Ishak dan Yakub juga memulai pekerjaannya sebagai gembala. Jadi gembala adalah profesi turun temurun yang melekat dalam kehidupan bangsa Israel sampai umat Israel berdiam di tanah Gosyen (Kej 46:34; 47:3).
Profesi gembala zaman perjanjian lama dipandang sangat baik karena tugas mereka yang mulia dengan tanggung jawab yang cukup besar. Mereka harus membawa dombanya ke tempat yang semestinya untuk mendapatkan makanan dan membuat dombanya kenyang, dan ketika saatnya istirahat mereka harus membawa para dombanya kembali ke kandang, menghitung jumlah domba-dombanya dan memastikan domba-dombanya dalam keadaan baik.
Gembala juga haruslah memastikan domba-dombanya akan aman ketika berada ditempatnya, dan tidak mendapat gangguan dan ancaman dari bahaya apapun. Mereka seharusnya tidak pernah mengeluh, karena yang dikeluhkannya tidak akan pernah dimengerti oleh dombanya. Mereka harus menyayangi dan melayani domba-dombanya sebagaimana anaknya sendiri, yang ketika tersesat atau dalam bahaya, harus mereka cari dan berkorban untuk mendapatkannya secara utuh dan mengembalikannya pada kawanan domba-domba yang lain, dan pada saatnya tiba menjelang malam dia harus mengembalikan domba-dombanya ke kandang.
Oleh karena itu juga Allah umat Israel sekaligus Allah kita diibaratkan sebagai gembala yang baik. Karena umat Isracl dibesarkan dari suku bangsa yang tidak terlepas dari profesi gembala, maka segala sesuatunyapun dikaitkan bahwa Allah sebagai gembala bagi mereka. Tradisi ini yang berulangkali dipakai oleh pemazmur dalam menuliskan bahwa Tuhanlah sebagai gembala yang baik dan umat Israel sebagai kawanan domba-Nya. Tuhan sendiri yang bersedia disapa sebagai gembala, dan umat Israel adalah domba-domba gembalaan-Nya.
Namun dalam Perjanjian Baru, kalangan Yahudi menempatkan gembala sebagai orang yang kasar, yang tidak menuruti bermacam-macam peraturan yang ada. Mereka dipandang rendah karena hampir tidak mempedulikan agama. Intinya mereka adalah golongan kelas rendah yang tidak dipandang pada masa itu. Kebanyakan dari mereka bukanlah pemilik domba-domba, namun buruh upahan dari sang pemilik domba. Mereka kurang dipandang karena profesi mereka menuntut mereka keluar dari kota, menuju padang rumput di daerah pinggiran, dan selama berbulan-bulan mereka ada di sana. Setiap pergantianan, musim mereka berpindah tempat kembali mencari padang rumput dan sumber air bagi domba-domba peliharaannya.
Gembala seringkali dipakai secara metafora untuk menggambarkan sosok Allah dan hubungan-Nya dengan manusia. Namun dalam masa sekarang ini, masih relevankah gambaran gembala yang baik itu sedangkan protesi gembala sudah semakin langka dijumpai? Gambaran Allah seperti apa yang tergambar oleh umat dalam konteks saat ini? (Dian Penuntun Edisi 32).
Bacaan Alkitab:
Nyanyian Jemaat:
- KJ 15:1-2
- Mazmur 23(A)
- NKB 194:1&3
- KJ 453:1&3
- KJ 240 A:1-2
- KJ 285:1&3
Tinggalkan Balasan