Renungan Minggu, 8 Mei 2022 – Paskah IV
Cre-values kepercayaan seluruh agama adalah keselamatan yang mengupayakan hidup tetap abadi dalam kemuliaan. Karena itu, kepercayaan afterlife menjadi bagian utama dan pengharapan agama-agama. Umumnya, agama-agama dan kepercayaan memiliki kepercayaan bahwa jiwa/roh manusia bersifat baka (immortal). Walaupun jiwa bersifat immortal, pada hakikatnya, membutuhkan panduan ilahi melalui ajaran dan ritual keagamaan. Kegagalan menjalani kehidupan dengan mengabaikan ajaran dan ritual keagamaan akan menyebabkan jiwa/roh manusia menerima hukuman di neraka atau mengalami reinkarnasi.
Melalui kebangkitan-Nya, Yesus menegaskan bahwa Ia adalah Sang Jalan yang berasal dari sorga dan sehakikat dengan Allah. Di Yohanes 10:30, Yesus menyatakan bahwa Ia dan Bapa adalah satu. Karena itu, setiap orang yang berada di dalam Dia akan menerima hidup abadi. Realitas keabadian hanya dapat berasal dari Allah yang kekal. Makna “kekal” berarti tidak berawal dan tidak berakhir. Kristus yang sehakikat dengan Allah yang kekal (Adonai El Olam) adalah berasal dari sorga sehingga memiliki kuasa untuk mengaruniakan hidup yang abadi (everlasting life).
Hidup yang abadi di dalam Kristus diterima umat saat mereka percaya dan akan berlangsung sampai selama-lamanya. Kitab Wahyu 7:9-17 memberikan gambaran bagaimana hidup abadi di dalam Kristus dialami oleh umat percaya. Walaupun umat mengalami kematian (martir) karena penganiayaan kelak mereka akan menerima mahkota kemuliaan sorgawi. Jaminan keselamatan tersebut bersumber pada diri Sang Kristus yang kekal sehingga Ia berkuasa atas maut dan bangkit dari kematian.
Makna hidup abadi (Everlasting Life) dalam realitas sehari-hari tidak senantiasa bersifat supernatural melalui berbagai mukjizat. Sebaliknya, umat percaya dapat mengalami hidup abadi dalam realitas sehari-hari yang bersifat natural, yaitu hidup yang bermakna dan penuh di dalam Kristus (bandingkan Yohanes 10:10b) Sebab apa artinya seseorang dapat berusia lanjut, tetapi tidak mengalami hidup yang bermakna? Hidup yang tanpa makna akan kosong, hampa dan kering. Sebaliknya, hidup yang bermakna adalah hidup yang penuh (fulfilled life) walau pun mengalami penderitaan karena menyatakan iman dan kebenaran. (Dian Penuntun Edisi 33).
Tinggalkan Balasan