Renungan Minggu, 28 Juli 2019
Doa mengubah segala sesuatu. Pertanyaannya, apakah doa mengubah keadaan atau mengubah respon kita atas keadaan? Apakah doa mengubah ketetapan Allah, ataukah mengubah kita menjadi berdamai dengan ketetapan Allah, ataukah mengubah kita menjadi berdamai dengan ketetapan-Nya? Apakah doa mengubah Allah atau mengubah kita? Apabila pendekatan tradisional berpijak pada pendapat pertama, maka pendekatan Kristen progresif justru berpijak pada pendapat yang kedua.
Dalam bacaan pertama, Abraham bernegosiasi dengan Allah tentang rencana pemusnahan Sodom dan Gomora. Kisah itu menggelar cerita tentang Allah yang akan menghakimi kedua kota tersebut karena banyak orang yang berkeluh kesah tentang Sodom dan Gomora, sementara Abraham tampil secara gigih bernegosiasi (berdoa) untuk kedua kota tersebut. Abraham memohon penundaan, bahkan pembatalan penghukuman atas Sodom dan Gomora, dengan bertolak dari pertanyaan logis tentang ada/tidaknya orang benar di sana.
Tantangan ada tidaknya 50, 45, 30, dan 10 orang benar dijawab tuntas oleh Allah. Namun, kenyataannya Allah tetap menghukum Sodom dan Gomora karena kedua kota tersebut benar-benar mengalami defisit orang benar sebagaimana yang dikehendaki Allah. Peristiwa itu menegaskan bahwa sejatinya Allah tidak pernah salah dalam menyatakan rencana dan kehendak-Nya. Doa Abraham tak mengubah keadaan, namun doa itu telah membuat Abraham ikhlas menerima rencana Allah yang tak menggembirakan baginya itu.
Umat diajak untuk membuka pikiran tentang doa yang diajarkan Tuhan Yesus sendiri. Dengan memahami kehendak Kristus di balik Doa Bapa Kami, diharapkan umat bukan hanya mampu menghafal dan merapal Bapa Kami, melainkan mewujudkannya di tengah realita hidup. (Dian Penuntun Edisi 28).
Tinggalkan Balasan