Renungan Minggu, 1 Juni 2014 – Paskah VII
Kata “ditinggikan” dalam tema kotbah saat ini mengindikasikan adanya sebuah posisi “rendah” yang dihadapi manusia. Tanpa harus diperdebatkan, kerendahan dalam frasa ini tentu dimaksudkan pada posisi manusia yang telah berdosa, yang hendak ‘diangkat’ Tuhan dari kerendahannya. Harap dipahami bahwa posisi rendah dalam kondisi ini bukanlah sebuah kondisi “rendah hati” atau “rendah diri”, melainkan keadaan manusia yang terpuruk, dijerat dorongan emosi tak terkendali, dan membutuhkan topangan Allah untuk keluar atau mampu mengendalikan diri dari terkaman emosi dan nafsu, sehingga emosi dan nafsu yang dipercayakan Tuhan menjadi anugerah besar sebagai landasan hidup, bukan menjadi ajang pemuasan diri.
Mengendalikan diri menjadi sebuah pergumulan yang sangat berat dalam hidup manusia. Apalagi ketika pengendalian diri dihubungkan dengan kuasa dan kekuasaan (lihat teks Kisah Para Rasul 1:6-14). Sebagaimana kita ketahui melalui berbagai media, penyelewengan kekuasaan bukan saja telah merambah ranah politik, tetapi juga telah memasuki gereja. Manusia yang percaya Tuhan untuk menggunakan kuasanya yang seharusnya menjadi sarana kemuliaan-Nya justru menjadi ajang untuk kebanggaan dan pemuasaan diri semata.
Disinilah manusia ditantang untuk bertarung melawan godaan, antara bersandar pada anugerah Tuhan atau mewujudkan pemuasan diri yang justru semakin memperburuk keberadaan manusia. Dalam pandangan Steven McCornack (Reflect and Relate), situasi manusia dalam kondisi pemuasan diri merupakan violence conflict. Mengapa demikian? Karena pemuasan diri dalam kekuasaan bukan ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan martabat hidup manusia, melainkan menjadi sarana pemenuhan kepentingan diri. Padahal kuasa yang Allah hadirkan justru dimaksudkan sebagai sarana untuk meninggikan nilai (value) dan martabat kemanusiaan. Inilah gagasan utama kotbah minggu ini, yakni ajakan kepada manusia untuk menilik secara mendalam nilai dan martabat kemanusiaan yang terbebas dari cengkraman kuasa iblis, yang sering mewujud dalam gelombang pemuasan diri. (Dian Penuntun Edisi 17, halaman 389-390).
Tinggalkan Balasan