Renungan Minggu, 6 November 2022
Pada masa pandemi Covid-19, kita kerap menemukan polemik yang muncul dan membuat terbentuknya 2 kubu yang saling bertentangan. Ada kelompok yang menyadari bahwa pandemi ini sungguh ada dan oleh karenanya harus mengikuti protokol kesehatan supaya terhindar dari paparan virus Corona. Sebaliknya, ada juga kelompok yang berpandangan bahwa keberadaan virus hanyalah rekayasa demi kepentingan bisnis.
Mereka yang sepakat dengan pandangan virus hanyalah rekayasa, berupaya membuktikan bahwa ketika mereka tidak pernah mengikuti protokol kesehatan mereka akan tetap baik-baik dan sehat-sehat saja. Bukan hanya tentang protokol kesehatan saja, polemik juga terjadi terkait dengan apakah akan melakukan pembelajaran tatap muka secara bertahap, setelah setahun lebih melaksanakan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang dinilai tidak efektif.
Sebenarnya perbedaan pandangan dengan saling memaparkan pandangan tanpa menghina atau merendahkan menjadi hal yang menarik untuk diikuti. Sayangnya, setiap kali ada perbedaan orang yang memiliki pandangan berbeda, hinaan itu tidak jarang diberi tambahan label yang merendahkan. Sikap yang semacam ini merasuk dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam masalah iman atau keyakinan.
Pada hari Minggu Biasa ini. Bacaan Injil menunjukkan pertanyaan orang Saduki kepada Yesus terkait perkawinan levirat yang dikaitkan dengan ketidak percayaan kelompok ini terhadap kebangkitan.
Pertanyaan yang diajukan menimbulkan kesan ejekan atau olok-olok terhadap pandangan kelompok lain yang percaya pada kebangkitan. Yesus menjawab pertanyaan itu dengan berbicara tantang Allah orang yang hidup untuk menyudahi pertanyaan yang mengejek itu.
Demikian juga dengan Ayub yang harus mengalami hinaan dan ejekan karena keadaannya yang sedang berada dalam penderitaan. Dalam pergumulannya. Ayub membuat pernyataan keyakinannya akan Allah sebagai Penebusnya yang hidup di tegah kehancuran hatinya karena dihina dan direndahkan oleh orang-orang disekitarnya termasuk keluarga dan sahabat-sahabatnya. Keyakinan iman itu membangkitkan pengharapan dalam dirinya.
Pandangan Yesus dan kesaksian iman Ayub semestinya menuntut kita untuk memiliki iman kepada Allah orang yang hidup dengan tanpa merendahkan dan mematikan yang lain, beriman kepada Allah orang yang hidup semestinya membuat hidup semakin digerakkan untuk memberitakan tentang Allah orang yang hidup yang membawa pengharapan bukan keputusasaan, membawa kehidupan bukan “mematikan” kehidupan sesama melalui sikap merendahkan dan menghancurkan kehidupan sesama atas nama iman. (Dian Penuntun Edisi 34).
Bacaan Alkitab:
Nyanyian Jemaat:
- KJ 46:1,2,5
- KJ 246:1-2
- KJ 344:1-2
- Mazmur 17:1-9
- KJ 289:1,3,8
- PKJ 144:1-2
Tinggalkan Balasan