Renungan Minggu, 14 Januari 2018
Panggilan mengikuti Tuhan dan kesediaan untuk melayani-Nya biasanya didahului dengan pertemuan, atau perjumpaan pribadi dengan Tuhan. Intensitas keintiman perjumpaan itu ikut menentukan kadar keterpanggilan dan kesetiaan berpartisipasi dalam pelayanan dan kesaksiaan bagi Tuhan. Dan, mereka yang menghayati betul perjumpaannya dengan Tuhan, akan memiliki kesetiaan yang relatif lebih besar ketimbang mereka yang kurang.
Para nabi dan rasul adalah contoh klasiknya. Nabi dan rasul yang intens berjumpa Tuhan memiliki keyakinan mendalam akan tugas panggilan yang Tuhan berikan kepada mereka. Mereka juga menjalankan tugas panggilannya dengan setia. Walaupun seringkali tugas dari Tuhan itu begitu berat, sulit dilaksanakan, bahkan membahayakan keselamatan mereka tetap setia, dan pada akhirnya “berhasil” dalam menjalankan tugasnya.
Orang-orang sederhana yang dipilih Tuhan menjadi rasul, seperti Simon, yang kemudian dijuluki Petrus siap sedia sepenuh hati menanggung kesulitan ketika menjalankan tugas panggilan sebagai rasul, dan/atau menyerahkan nyawa ketika Tuhan menganggapnya layak untuk itu. Demikian juga, rasul terakhir, Paulus, yang ditemui Tuhan Yesus berwujud cahaya menyilaukan mata dalam sebuah misi keagamaannya ke kota Damaskus. Saulus dipanggil menjadi utusan Tuhan. Dan, ketika menjalankan tugas panggilan sebagai rasul, Paulus nama barunya, tidak pernah surut nyali atau tawar hati untuk memberitakan Injil Tuhan ke seluruh dunia, meskipun aniaya, bahwa kematian, mengancam dirinya.
Perjumpaan yang intens dengan Tuhan menguatkan hati mereka untuk tetap setia berkarya bagi Tuhan. Hal yang serupa juga terjadi pada diri hamba-hamba Tuhan masa kini. Bagaimanakah dengan karya dan kesetiaan kita sebagai anggota GKI untuk menjalankan tugas panggilan bersaksi dan melayani? (Ringkasan Dian Penuntun Edisi 25).
Tinggalkan Balasan