Renungan Minggu, 21 Oktober 2012
Tidak dapat dipungkiri, berbagai peristiwa di negeri ini memberikan gambaran kepada kita mengenai sebuah model kepemimpinan. Pemimpin diidentikkan dengan penguasa, yang menguasai ‘sesuatu’. Pemahaman seperti ini mulai terbawa dalam dinamika kepemimpinan gerejawi. Kepemimpinan gerejawi, yang seharusnya yang melayani, kerapkali masih mementingkan kepentingan diri, mencari penghargaan, penghormatan, bahkan tidak jarang ‘mengorbankan’ orang lain.
Tuhan Yesus memberikan teladan tentang bagaimana seharusnya kehidupan seorang hamba Allah dalam kepemimpinanNya. Ia berkurban untuk kebaikan sesama, dan bukannya mengorbankan orang lain untuk kepentingan diriNya. Kata ‘kurban’ dan ‘korban’ dalam khasanah bahasa Indonesia kadang ditampilkan bergantian dalam nuansa yang tidak berbeda, sebagai ‘pemberian atau persembahan’ kepada pihak lain, terutama kepada Allah untuk menyatakan kebaktian dan kesetiaan.
Tapi, kedua kata itu punya kekhasan masing-masing. ‘Kurban’ memiliki arti yang lebih positif, sementara ‘korban’ selain memiliki makna persembahan, juga punya makna yang lebih negative, yaitu orang atau binatang yang menjadi menderita akibat suatu kejadian atau perbuatan jahat. Dengan begitu, mengorbankan berarti membuat orang lain menjadi korban yang mengalami penderitaan akibat perbuatan kita. Dalam kaitan dengan hal ini, tema kita soal ‘berkurban, bukan Mengorbankan’ hendak mengajak kita untuk memberi hidup sebagai persembahan (sebagai kurban) bagi Allah dan sesama, bukan sebaliknya, menjadikan sesama menderita karena perbuatan kita, dan mengorbankan mereka untuk kepentingan kita (sebagai korban).
Tinggalkan Balasan