Renungan Minggu, 9 September 2018
Keragaman suku, budaya, bahasa, dan agama yang ada di Indonesia merupakan sebuah kekayaan yang dimiliki bangsa ini. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa keberagaman yang ada itu justru sering menjadi pemantik terjadinya konflik antar masyarakat. Sikap primordial dan sektarian makin hari, makin menampakkan wajahnya secara terang benderang. Kita mendapati semakin banyak orang yang melihat orang lain yang berbeda dengan diri atau kelompoknya, bukan lagi sebagai sesama; melainkan sebagai lawan yang pantas untuk dicurigai dan dibenci. Perbedaan dijadikan dasar pembenaran untuk melakukan kekerasan terhadap sesama.
Di sisi lain, jika kita mengamati perkembangan sosial yang terjadi di sekitar kita, rasanya tidak terlalu berlebihan, jika dikatakan bahwa peranan agama dalam membangun kehidupan umat manusia, sangatlah penting. Baik atau buruknya kehidupan manusia, salah satunya dipengaruhi oleh ajaran dan karya agama. Sebab, apa yang diajarkan oleh suatu agama, itulah juga yang diterapkan dan dipraktikkan oleh umat dalam kehidupan sehari-hari. Selama agama suka mengajarkan radikalisme dan fundamentalisme, maka yang terjadi adalah makin kuatnya sikap primordial dan sektarian dalam kehidupan masyarakat.
Oleh karena itu, melalui khotbah Minggu ini, kita diajak untuk mengingat kembali ajaran dan teladan Yesus dalam berkarya di tengah lingkungan-Nya. Yesus memberi teladan yang baik dalam berkarya. Ia tidak pernah memandang muka dan status sosial orang per orang. Yang Yesus lakukan adalah menyatakan karya Allah kepada setiap orang yang mengharapkannya. Sekalipun yang meminta pertolongannya adalah orang-orang non-Yahudi, Ia tetap mau melayani dan menolongnya. Melalui keteladanan-Nya, Yesus mengajarkan kepada kita tentang karya pelayanan yang melampaui sekat-sekat yang ada dalam kehidupan. (Dian Penuntun Edisi 26).
Tinggalkan Balasan