Renungan Minggu, 3 Agustus 2014
Tidak mudah berdialog dengan diri sendiri, meskipun sesekali kita perlu melakukannya. Tentu, yang dimaksudkan di sini adalah dialog yang jujur dengan diri sendiri, untuk mengungkapkan diri apa adanya, termasuk hal mengakui kelemahan, keterbatasan, bahkan luka-luka batin dan kepahitan, yang mungkin ada dari pengalaman menyakitkan. Kebanyakan orang memilih untuk “lari” dari diri sendiri. Untuk itu, berbagai upaya bisa dilakukan. Umumnya adalah “bekerja keras”, yang tidak jarang memang dapat menghasilkan pencapaian demi pencapaian yang mengagumkan. Pilhan lain adalah berdiam diri dalam kemarahan dan kepahitan.
Pengalaman Yakub dapat menjadi inspirasi bagi kita mengenai bagaimana sesungguhnya kita dapat berdamai dengan diri sendiri: Tidak lagi lari, tetapi berhadapan dengan dirinya. Ya, dirinya yang telah bergulat dengan Allah.
Agaknya benar jika ada pendapat mengatakan, kita tidak dapat mengenal diri kita sendiri, sebelum kita mengenal Allah. Atau, lebih tepatnya, kita tidak dapat menerima diri kita apa adanya, sebelum kita mengalami kasih Allah yang tanpa batas, yang menerima kita apa adanya. Di dalam Allah, kita dapat mengakui keterbatasan dan kelemahan kita, bahkan menertawakannya, karena kita telah berdamai dengannya. (Dian Penuntun edisi 18, halaman 69-70).
Tinggalkan Balasan