Renungan Minggu, 29 Desember 2019
Hidup yang dijalani tidak selamanya memberikan ketenangan atau kedamaian. Kadang kita bergumul dengan segala macam pergumulan, kesukaran, bahkan penderitaan. Sesungguhnya, penderitaan itu tidak dapat ditolak. Kalau begitu, pilihan lain adalah merangkul penderitaan itu sebagai sahabat kehidupan, lalu berjalan bersamanya.
Monica Hellwig, pendidik dan teolog dari Georgetown University, mengajak kita melihat sisi positif dari penderitaan. Baginya, penderitaan dapat mengajarkan bagaimana bekerja sama. Selain itu, penderitaan juga mengajarkan orang untuk tidak bergantung pada diri sendiri, tidak mengagungkan kemandirian diri, bahkan penderitaan mengajarkan kita bagaimana berserah kepada Tuhan.
Tindakan penyingkiran Yusuf, Maria, dan bayi Yesus ke Mesir merupakan gambaran ketaatan sekaligus tindakan kreatif Yusuf dan Maria dalam menanggapi jalan kehendak Tuhan bagi mereka. Kesukaran karena harus mengungsi dengan jalan berputar, “dinikmati” dan dijalani mereka. Mereka merangkulnya sebagai bagian yang tidak dapat ditolak. Yusuf tidak berpikir untung rugi atau kalkulasi spekulatif terhadap perintah itu. Ia tahu persis apa yang Tuhan rencanakan adalah terbaik bagi umat-Nya.
Kisah penyingkiran ke Mesir hendak menunjukan kepada kita bahwa Allah bekerja dalam segala sesuatu untuk membawa kebaikan bagi umat-Nya. Kisah ini dapat mengajak kita melihat kesulitan sebagai bagian yang perlu dirangkul bahkan di dalamnya kita dapat saja menemukan tindakan pemeliharaan Tuhan yang menyelamatkan.
Pembacaan Injil setelah hari Natal menyuarakan nada baru dan secara dramatis. Hal ini membawa kita menjauh dari antisipasi Advent dan pesta pora perayaan ke hari-hari yang suram dan gelap. Sebuah realita hidup yang tak mungkin ditolak. Di tengah ancaman atas kehidupan, Tuhan dengan seksama mengatur hari-hari awal Yesus, sebagaimana terdapat dalam penuturan Matius. (Dian Penuntun Edisi 28).
Tinggalkan Balasan