Renungan Minggu, 13 Maret 2022
Hidup adalah perjalanan yang menuntut progresivitas. Pergerakan pada dirinya sendiri merupakan penanda sesuatu atau seseorang hidup. Keengganan untuk bergereak akan berujung kepada kejenuhan, kegemukan, penyumbatan, kemacetan, kelumpuhan, bahkan kematian. Di Minggu Pra Paskah kedua ini umat diajak untuk merefleksikan keberadaan sebagai komunitas pendatang di tengah dunia, para pengembara iman yang melangkah dalam spirit menumbuhkan (mengejawantahkan) Kerajaan Allah.
Pergerakan iman dalam menunaikan misi Allah bagaikan sebuah arak-arakan. Ya, Kerajaan Allah adalah sebuah perarakan. Dalam kenyataan umat sering lebih dan bosan untuk bergerak, dan memimpikan stabilitas serta kemapaman. Di titik itu biasanya ada asumsi tentang kepuasan semu. Ketika sebuah pergerakan (movement) berubah menjadi institusionalisasi maka rigiditas masif menggejala.
Struktur dan sistem memang penting, namun jika arak-arakan Kerajaan Allah telah terjangkit strukturalisme, maka segala upaya dan rencana strategi adalah penjara bagi diri sendiri. Dampaknya, spirit Kerajaan Allah yang dinafasi cinta kasih, keadilan, kesetaraan dan keutuhan ciptaan justru terkungkung oleh seperangkat larangan dan kesepakatan.
Di masa lampau gereja perdana, yang mulanya merupakan komunitas pergerakan, lambat laun dirangkul dan merangkul penguasa, lalu mengalami institusionaliasi. Akibatnya justru perpecahan demi perpecahan terus terjadi. Perseteruan politik atas nama ortodoksi berujung pada masa gelap di mana gereja menjadi komunitas masif yang tak lagi menjadi saluran anugerah, malah menjadi masalah peradaban.
Bacaan leksionari pra Paskah kedua ini secara koheren menegaskan status kembara iman orang percaya. Bacaan Injil mengungkap keberanian Yesus untuk melawan penguasa licik dan masifnya Yerusalem karena institusionalisasi agama yang memberangus suara kenabian. Surat Filipi menggaungkan penegasan Paulus bahwa gereja adalah pendatang yang tinggal dan bergerak menuju kepenuhan Kristus.
Sementara bacaan pertama mengangkat kegilisahan Abraham yang mendamba stabilitas dan kepastian masa depan, yang justru direspons oleh Allah dengan penegasan bahwa hidup beriman adalah hidup yang tidak menetap. Bagaikan air yang terus merembes dan megalir untuk membasahi kehidupan seperti cahaya yang harus melesat untuk memerangi dunia, demikian gereja harus tetap progresif di masa kini. (Dian Penuntun Edisi 33).
Bacaan Alkitab:
Nyanyian Jemaat:
- KJ 247:1-2
- Tak Dapat Kami Pahami Caramu (Ayat 1-2)
- KJ 159:1,2,5
- Mazmur 27
- KJ 287b:1-2
- PKJ 282 (1+4)
Tinggalkan Balasan