Renungan Minggu, 9 Februari 2020
Yesus mengajarkan orang banyak – dalam Khotbah di Bukit – perihal identitas yang perlu disadari bersama. Identitas apa yang dimaksud? Bahwa orang banyak adalah garam dan sekaligus terang dunia. Identitas tersebut bisa dikatakan merupakan identitas universal, di tengah identitas-identitas lain yang membentuk jati diri seseorang.
Di Indonesia sendiri, identitas terus menjadi persoalan, utamanya dalam kaitan dengan politik identitas yang digunakan begitu masif pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 dan Pemilu 2019 yang lalu. Politik identitas menunjuk pada upaya membangun jargon-jargon politik dengan menonjolkan perbedaan identitas, baik itu perbedaan agama, seperti kalian kafir, kami pemilik surga; maupun perbedaan ideologi, seperti: mereka antek PKI, kita nasionalis-religius.
Dampak dari politik identitas yang seperti itu membuat masyarakat seolah-olah terbelah: kami vs kalian. Alhasil, orientasi hidup manusia yang terjebak pada politik identitas tertuju pada diri sendiri, atau setidaknya pada orang-orang dari kelompok yang sama. Selain itu, politik identitas juga membuat para “pengikutnya” menjalani hidup keagamaan secara emosional.
Pihak lain yang tidak sama seperti mereka dianggap sebagai musuh, harus dilawan. Jargon seperti: jika tidak memilih A, tidak masuk surga” atau “nanti tidak akan ada lagi yang menyembah-Mu, jika kami kalah”, berhasil mengaduk-aduk emosi para “pengikutnya”. Di sini, akal sehat tenggelam oleh sikap emosional. Dalam konteks yang seperti ini, kita akan belajar dari salah satu pengajaran Yesus (yakni mengenai “garam dunia” dan “terang dunia”) sebagai cermin untuk mengevaluasi hidup keagamaan kita saat ini. (Dian Penuntun Edisi 29).
Tinggalkan Balasan