Renungan Minggu, 21 April 2013 – Paskah IV
Hidup kekal sering diartikan sebagai hidup yang tak pernah berakhir. Kekekalan hanya dihubungkan dengan dimensi kuantitas hidup yang tanpa batas. Maka, pembagian fase hidup menjadi dua bagian, yakni hidup sekarang dan hidup yang akan datang, menjadi dominan dalam alam pikir dogma Kristen. Hidup kini adalah hidup yang akan berakhir dengan kematian, sementara setelah kita mati akan masuk dalam fase hidup berikutnya – tahap kedua – yang bersifat kekal. Dampak positifnya orang Kristen tidak takut menghadapi kematian, sebab selalu percaya bahwa setelah itu bisa hidup tanpa mati lagi. Namun, juga harus diakui bahwa pemahaman yang demikian membuat banyak orang hidup dengan kenaifan. Mereka cenderung tidak menghargai kehidupan sekarang sebagai tanggung jawab yang harus dirawat dan diperjuangkan sebaik mungkin. Bahkan, di dalam hidup yang kedodoran, penuh cela, dan jadi batu sandungan sekalipun orang masih bisa sangat percaya bahwa ia telah menerima anugerah kehidupan yang kekal. Kebanggaan terhadap hidup kekal yang demikian menjadikan kekristenan tak lebih dari anugerah yang murahan.
Jika direnungkan lebih jauh, sebenarnya konsep hidup kekal dalam kekristenan berbicara tentang dimensi kualitas hidup. Disebut kekal bukan karena hidup terus, melainkan mampu menghasilkan nilai yang bersifat kekal. Kesenangan, kesuksesan, kemenangan – yang selalu dikejar dan diupayakan orang – tidaklah kekal. Tetapi, hidup yang berbuahkan cinta kasih, pengampunan dan perdamaian adalah hidup yang memiliki kekekalan secara kualitas. Kekekalan itu tidak menanti di seberang kematian, melainkan ada di sini, sekarang yang kita kenal sebagai manusia baru. Dengan demikian, hidup kekal adalah hidup yang menghasilkan nilai-nilai kekal, yakni nilai-nilai Kerajaan Allah (Kingship of God). Kekal atau tidaknya hidup seseorang juga dapat diukur dari buah kekekalan nilai yang ia hasilkan dalam kesehariannya (Matius 7:20)
Yang menarik, dalam kekristenan kekekalan hidup itu tak dapat diupayakan sendiri, tetapi karena anugerah Allah. Kekekalan hidup yang dianugerahkan Allah di hati manusia (Pengkhotbah 3:11) begitu sulit diwujudnyatakan, sampai Kristus hadir dan membuka mata kita tentang apa dan bagaimanakah kekekalan itu. Jika hidup kekal hanya dilihat dalam dimensi kuantitas (asal percaya pasti selamat dan tidak akan mati – walau hidupnya kedodoran), maka anugerah hidup kekal itu hanya menjadi hadiah murahan (cheap grace). Disebut murahan, karena siapa saja bisa menerima, walau kualitas kesehariannya parah. Alam persekutuan dengan Kristus, kekekalan yang dianugerahkan bagi manusia adalah kekekalan dalam arti kualitas. Buah dari persekutuan dengan Kristus adalah hidup yang elegan, menghasilkan keharmonisan relasi dengan Tuhan, sesama dan seluruh ciptaan: Kekekalan yang mampu mengembalikan bumi ciptaanNya menjadi “Eden Baru”. Dengan penghayatan yang demikian, kita mampu melihat anugerah Allah.
Tinggalkan Balasan