Renungan Minggu, 23 Juli 2017 – HUT Ke-67 BPK Penabur
Penganut agama dan penghakiman seringkali berjalan seiring-sejalan. Atas nama agama, penganut suatu agama dapat melakukan penghakiman, penyingkiran, sikap diskriminatif, dan pelecehan spiritual terhadap sesamanya. Penyebabnya adalah atas nama kebenaran dan keyakinan yang diyakini oleh pemeluknya. Kita bisa membayangkan bila hal itu terjadi di tengah-tengah masyarakat yang majemuk atau di tengah sebuah persekutuan umat. Apakah manusia layak melakukan penghakiman terhadap sesamanya?
Dalam ajaran yang disampaikan Yesus, kita menemukan bahwa penghakiman terhadap sesama bukanlah hak manusia. Ketika melihat umat hidup dalam kesalahan, Tuhan bersabar melihat semuanya. Secara praktis, kesabaran Tuhan dirasakan umat-Nya manakala Ia bukan menghukum umat yang bersalah dengan sembarangan. Sabar bukan berarti pasif dan berdiam diri tanpa melakukan aksi perubahan. Sabar adalah kesediaan untuk berharap dengan sikap batin tenang serta perjuangan keras. Dalam Alkitab tampak bahwa Yesus bersabar mewujudkan mimpi-Nya, yaitu Kerajaan Allah (Injil Matius: Kerajaan Sorga). Untuk mewujudkan mimpi-Nya, setiap pengikut Yesus diminta-Nya tidak melakukan penghakiman yang menentukan baik-buruknya orang lain. Yang berhak menentukan baik-buruknya seseorang adalah Allah sendiri.
Umat diundang untuk setia hidup dalam mimpi Yesus yang dijalankan melalui berbagai tindakan luhur seperti keterlibatan semua orang dalam karya-Nya, pengajaran profetis, penyembuhan, doa, pengampunan dosa, dan pemberdayaan yang terintegrasi (Binawiratma, 2013). Adapun urusan sorga-neraka, baik dan jahat, siapa yang layak dihadapan-Nya adalah urusan Tuhan sendiri. Tugas kita adalah hidup dengan saling melibatkan dalam kebaikan, pengajaran profetis (suara kenabian), hidup saling menyembuhkan, saling mendoakan, saling mengampuni, dan memberdayakan satu sama lain demi keberlangsungan hidup dalam rahmat Allah. Kesabaran Allah menjadi inspirasi kita memperjuangkan hidup bersama. (Dian Penuntun Edisi 24).
Tinggalkan Balasan