Renungan Minggu, 10 November 2013
Pernyataan iman “Allah orang yang hidup” memiliki berbagai makna. Makna tersebut tergantung pada siapa yang mengucapkannya. Bagi Ayub, pernyataan “Allah orang yang hidup” merupakan suatu lompatan iman. Di saat terpuruk menemukan Allah sebagai lawan yang menghancurkan kehidupannya. Namun, akhirnya Ayub dapat mengimani Allah sebagai penebusnya yang hidup.
Bagi rasul Paulus, pada akhir zaman Allah akan menyatakan diriNya dalam kedatangan Kristus, untuk menghukum ‘manusia durhaka’ dan membawa umat percaya dalam kemuliaanNya. Karena itu umat dipanggil untuk merespons dengan hidup kudus. Bagi orang-orang Saduki, Allah orang yang hidup dipahami hanya terjadi dalam kehidupan di dunia ini. Setelah manusia mati, ia tidak akan menemukan kehidupan sorgawi. Sedang bagi Tuhan Yesus, Allah orang yang hidup dinyatakan dalam kehidupan di masa kini maupun dalam kehidupan setelah kematian. Di dalam persekutuan dengan Allah yang hidup, umat memperoleh anugerah kehidupan.
Sikap percaya kepada Allah yang hidup, seharusnya membawa konsekuensi etis, yaitu menghadirkan anugerah kehidupan Allah tersebut dalam realitas kehidupan. Realitas kehidupan di masa kini begitu bernilai, sama halnya dengan keselamatan di masa mendatang. Karena itulah Allah orang yang hidup memperkenalkan namaNya kepada Musa sebagai: Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub. Walaupun para bapak leluhur Israel tersebut telah wafat, mereka diperkenankan hidup abadi dalam persekutuan dengan Allah. Sebab, selama kehidupan mereka di dunia, mereka menghadirkan tanda-tanda keselamatan dan berkat Allah. Karena itu umat Israel dipanggil untuk percaya kepada Allah melalui kehidupan dan jalan hidup para bapak leluhurnya.
Namun, apakah di masa kini kita masih menjumpai Allah orang yang hidup? Kita tidak membangun argumentasi berdasarkan dogma, tetapi melalui fenomena yang terjadi dalam kenyataan hidup sehari-hari, yaitu kehadiran para pemeluk agama yang agresif mematikan sesamanya. Bagaimana kita menyatakan “Allah orang yang hidup” di tengah-tengah realitas umat beragama yang menghadirkan kematian bagi sesamanya?
Tinggalkan Balasan