Renungan Minggu, 15 Juni 2014 – Trinitas
Dalam tradisi kekristenan barat, doktrin trinitas pertama kali dikenalkan frasa latin, dicetuskan oleh Tertulianus pada tahun 200 “una substantia – tres personae (satu substansi – tiga pribadi)”. Penyataan ini mengusung ide tentang kekristenan yang mengimani penyataan Allah yang satu, tidak terpisahkan, memiliki substansi ilahi, dalam tiga “cara berada” pribadi. Juga sebaliknya, bahwa tiga pribadi itu berbeda satu sama lain, tetapi mereka satu dalam substansi ilahinya. Kritik pada pendekatan ini ialah bahwa pemahaman yang sedemikian dapat jatuh ke dalam modalisme (tiga pribadi itu dilihat sekadar moda dari keberadaan ilahi), dan monarkianisme (terdiri dari unit-unit dengan tingkatan).
Bapa Gereja Kappadokian dan penerus mereka dalam kekristenan timur, berpendapat sebaliknya, bahwa dasar keberadaan Allah sedari kekal sampai kekal ialah triuni (triune). Titik berangkatnya, menurut mereka, bukan ketunggalan (unity) Allah, tetapi ketri-tunggalan (tri-unity). Meski mereka berupaya untuk menghindari susunan hierarkis dalam trinitas, gagasan mereka bahwa Sang Bapa sebagai prinsip tertinggi (supreme principle) atau arche, melahirkan masalah, sebab menjadikan Sang Anak dan Roh Kudus menjadi bergantung pada Sang Bapa. Terhadap tuduhan subordinasi terhadap Sang Anak dan Roh Kudus itu, mereka menanggapi, bahwa perbedaan antara tiga pribadi itu terletak hanya pada ranah hubungan antara satu dengan yang lainnya, dan kemudian menegaskan bahwa (sebagaimana dikatakan Athanasius) persekutuan ilahi dari pribadi-pribadi itu -satu dengan yang lain- begitu lengkap dan utuh, sehingga yang satu dapat dikatakan tinggal sepenuhnya pada yang lain, dalam pertukaran yang utuh dalam sebuah gerak kehadiran ilahi yang hidup.
Gagasan terakhir ini menjadi puncak dari teologi trinatarian bapa-bapa gereja, yang berupaya menghindari sub-ordinasianisme dan tri-teisme. Prinsip ini kemudian diangkat oleh Agustinus dalam studi monumentalnya, De Trinitatis, yang ditulis antara tahun 354-419. Ia menulis: “Setiap [pribadi-pribadi ilahi] ada dalam setiap, semua ada dalam setiap, setiap ada di dalam semua, semua di dalam semua, dan semua adalah satu.” Namun, di kemudian hari, Yohanes dari Damaskus-lah (675-749) -seorang teolog dari kekristenan timur- yang mencetuskan kata perichoresis, sebagai ungkapan teknis untuk menggambarkan kesalingterhubungan (interpenetration) mutual dari tiga pribadi itu. Kala trinitas dimengerti secara perikoretik, maka Sang Bapa hadir dalam Sang Anak, Sang Anak dalam Sang Bapa, dan mereka berdua dalam Roh Kudus, sebagaimana Roh Kudus hadir dalam Sang Bapa dan Sang Anak. Dalam prinsip ini, keberadaan ilahi yang dinamis itu tidak dapat dipahami sekedar sebagai satu subjek saja, tetapi hidup sebagai sebuah persekutuan yang hidup (koinonia) dari tiga pribadi yang saling berhubungan satu dengan yang lain, hadir satu di dalam yang lain, dan bertindak dalam keserempakan.
Apa yang dijelaskan di atas acapkali dipahami sebagai trinitas yang imanen (immanent trinity), “sisi dalam” dari tiga pribadi, “sisi ontologis”, tentang “what God is”. Hal ini acap “dibedakan” dengan apa yang dinamakan ekonomi trinitas (economic trinity), tentang “what God does”, dalam cara bagaimana tiga pribadi itu menyatakan aktivitasnya di dunia. Untuk menghindari kesalahpahaman adanya banyak trinitas, Karl Rahner mencetuskan bahwa “ekonomi trinitas ialah trinitas yang imanen, dan sebaliknya.” Dijelaskan lebih lanjut bahwa penyataan Allah Trinitas dalam sejarah ialah penyataan diri dari Allah, namun bukan penyataan yang lengkap dari Allah. Dalam inkarnasi, Sang Anak hadir kepada dunia tidak dalam kemuliaan-Nya yang utuh, tetapi dalam bentuk kenotik (pengosongan diri). Dalam inkarnasi-Nya, Ia mensubordinasikan diri-Nya sendiri di bawah Sang Bapa, dan merendahkan diri-Nya dalam kematian, dan, dengan melakukan itu, Ia menegaskan sesuatu tentang ketritunggalan Allah, yang dalam keadaan seperti itu pun Ia tetap menjadi Sang Anak yang ilahi, yang setara dengan Allah dalam keilahian, kemuliaan dan kuasa. (Dian Penuntun edisi 18).
Tinggalkan Balasan