Renungan Minggu, 30 Maret 2014 – Pra Paskah IV
Dunia seringkali digambarkan sebagai sebuah tempat yang gelap dan berbahaya. Kegelapan itu bukan saja menyembunyikan jalan yang tepat, tetapi juga menyembunyikan perangkap, lubang menganga, dan jurang yang mematikan. Kejahatan seolah menemukan habitatnya untuk terus merambah dan semakin digdaya dari waktu ke waktu karena terselubung kegelapan. Hidup di dunia yang gelap menjadi sangat sulit karena ketidaktahuan manusia tentang apa yang harus dihadapinya. Setiap keputusan yang dibuat bisa menjadi salah dan mendatangkan bahaya. Mengapa kejahatan membiak dalam kehidupan manusia?
Pertama, filsuf besar dari Yunani, Platon, mengatakan bahwa ketidaktahuan yang menyebabkan seseorang berbuat jahat. Seseorang melakukan hal yang jahat karena mereka tidak tahu (tentang apa yang baik). Mereka hidup dalam kegelapan dan tidak melihat kebaikan. Mereka tidak tahu apa itu baik sehingga mereka tidak dapat melakukannya. Orang melakukan apa yang ia ketahui saja (kejahatan). Absennya sosok Gu-Ru (orang yang bisa digugu dan ditiru) menjadi biang ‘kegelapan’ dalam hidup bersama.
Kedua, Hannah Arendt menyatakan kejahatan itu banal. Begitu banalnya kejahatan sehingga tidak perlu orang yang ahli atau menderita penyimpangan psikologis tertentu untuk melakukannya. Banalitas kejahatan membuat siapa pun dapat melakukan kejahatan. Kejahatan merebak karena ia tidak menuntut syarat apa pun dari seseorang untuk bisa melakukannya. Hal itu nyata dalam kehidupan di sekitar kita, dari tahun ke tahun. Pelaku tindak kejahatan muncul dari golongan usia yang sangat muda sampai golongan yang seharusnya melakukan hal-hal terhormat, semisal Hakim Agung, Anggota Parlemen, Jaksa, Aparat Hukum, Pejabat Publik, sampai ke Pendidik dan anak didiknya.
Dunia butuh ‘Terang’ agar manusia yang hidup di dalamnya, mampu melihat dan meresponi keadaan dengan tepat. Tuhan Yesus merujuk pada diriNya sebagai “Terang Dunia”. Pernyataan ini menjadi penting untuk mengantar umat pada Terang itu agar mereka mendapatkan contoh yang benar dalam menghadapi ‘gelap’nya kehidupan. (Dian Penuntun, Edisi 17, Halaman 243 – 244).
Tinggalkan Balasan