Renungan Minggu, 26 Mei 2019 – Minggu Paskah VI
“Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu.”
(Yeremia 29:7).
Pada tanggal 20 Mei 2019 lalu kita memperingati suatu hari yang penting dan bersejarah dalam perjalanan hidup bangsa kita, yakni hari Kebangkitan Nasional. Mengapa disebut sebagai hari Kebangkitan Nasional? Sebab, rakyat Indonesia yang sebelumnya masih terkotak-kotak dalam identitasnya masing-masing, kini mulai membangun kesadaran sebagai satu saudara sebangsa dan setanah air.
Kesadaran sebagai satu bangsa dan tanah air mulai muncul ketika rakyat merasa senasib dan sepenanggungan di bawah penjajahan bangsa lain. Dari sini, mereka mulai menggalang persatuan yang tidak lagi dibatasi oleh identitas kesukuan atau keagamaan secara sempit, melainkan sebagai sesama anak bangsa yang bersama-sama berjuang bagi kemerdekaan bangsanya.
Yeremia dalam suratnya kepada para tua-tua, imam-imam, nabi-nabi dan kepada seluruh bangsa Israel yang berada di pembuangan berpersan untuk tidak hanya meratapi nasib mereka di pembuangan Babel, melainkan untuk mengusahakan kesejahteraan kota itu serta berdoa baginya ke mana Tuhan membuang mereka. Memang, pembuangan ke Babel harus mereka alami karena pemberontakan dan ketidaksetiaan mereka kepada Tuhan, tetapi Tuhan ingin memberi didikan kepada umat-Nya untuk belajar tentang arti kerendahan hati, ketaatan dan kesetiaan kepada Tuhan. Lebih dari itu, sekalipun mereka ada di dalam pembuangan, Tuhan ingin agar mereka bangkit dari situasi meratapi diri, lalu berbuat sesuatu bagi kota di mana mereka Tuhan buang.
Firman Tuhan katakan: “Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu.” Konsekuensi dari pelanggaran mereka memang harus ditanggung, tetapi yang menarik adalah di dalam penghukuman itu Tuhan masih menaruh kasih setia-Nya bagi umat-Nya. Ia tidak ingin mereka putus asa karena kepedihan dan ratapan mereka sebagai bangsa buangan, melainkan bangkit membangun kehidupan mereka sendiri beserta anak cucu mereka nantinya.
Bila narasi Yeremia ini dikaitkan dengan kondisi di negeri kita, tentu saja situasinya lain. Kita bukanlah orang-orang buangan. Banyak dari antara kita telah lahir di bumi pertiwi sejak mulanya. Kita adalah warga negara Indonesia. Maka, seharusnya kita mampu berbuat lebih daripada orang-orang Israel di pembuangan. Kalau mereka saja sebagai bangsa buangan diminta untuk berbuat sesuatu yang mendatangkan kesejahteraan kota di mana Tuhan membuang mereka, maka kita tentu lebih dari mereka. Kita patut membangun kesejahteraan negara kita sendiri, tanah tumpah darah kita sendiri, tanah air kita sendiri.
Untuk dapat membangun kesejahteraan bangsa ini, kita tidak dapat berjalan sendiri, kita perlu bergandengan tangan dan bekerja sama dengan berbagai kalangan lintas etnis, suku, agama, politik, sosial, ekonomi, gender, usia. Bukan sebagai orang asing ataupun pendatang, melainkan sebagai warga asli di dalamnya, yakni sebagai sesama orang Indonesia.
Identitas etnis, kesukuan dan keagamaan memang tetap ada dan tidak akan pernah dapat hilang, namun kita mau meletakkan itu semua di bawah satu identitas yang menyatukan kita, yakni sebagai sesama orang Indonesia yang sama-sama mencintai negeri ini dan berupaya menghadirkan kedamaian dan keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Selamat hari Kebangkitan Nasional, kiranya Tuhan semakin mengukuhkan kecintaan kita terhadap Indonesia lewat segenap karya yang kita lakukan bagi negeri ini. ( Pdt. Markus Hadinata).
Tinggalkan Balasan